|
|
|
|
|
|
Saudara-saudari yang terkasih, melalui para nabi, Tuhan terus mendorong solidaritas kita kepada saudara-saudari kita yang kecil, lemah, miskin dan tersingkir ini dengan seruan yang konkret dan berani: “Berpuasa yang Kukehendaki ialah supaya engkau membuka belenggu-belenggu kelaliman dan melepaskan tali-tali kuk, supaya engkau memerdekakan orang yang teraniaya dan mematahkan setiap kuk, supaya engkau memecah-mecah rotimu bagi orang yang lapar dan membawa ke rumahmu orang miskin yang tak punya rumah, dan apabila engkau melihat orang telanjang, engkau memberi dia pakaian dan tidak menyembunyikan diri terhadap saudaramu sendiri!” (Yes 58:6-7). Masa Prapaskah 2024 merupakan masa pertobatan yang mengajak kita dari pertobatan hati menuju gerak pertobatan praksis lahiriah baik yang dilaksanakan secara pribadi maupun bersama dalam keluarga, komunitas basis, lingkungan, paroki dan keuskupan. Masa tobat ini mengajak kita untuk mewujudkan pertobatan sejati dalam membangun ketangguhan bersama melalui solidaritas kepada saudara-saudari kita yang kecil, lemah, miskin dan tersingkir. Bagi kita sebagai umat beriman, dasar solidaritas dan segala perhatian bagi orang miskin adalah kasih sayang dan pilihan Allah untuk mereka. Rasul Yakobus menegaskan: “Bukankah Allah memilih orang-orang yang dianggap miskin oleh dunia ini untuk menjadi kaya dalam iman dan menjadi ahli waris Kerajaan.” (*Yak 2:5). Kasih Allah yang mengangkat orang miskin dari deritanya, bagi kita sebagai umat Kristiani menjadi amat konkret dalam misi Yesus. Ia memperkenalkan diri dengan kata nubuat Yesaya: “Roh Tuhan ada pada-Ku, karena Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin. Ia telah mengutus Aku, untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan” (*Luk 4:17-19). Dalam perjumpaan-Nya dengan banyak orang miskin, sakit, dan kerasukan, kabar baik itu diwujudkan dalam perbuatan yang nyata: “Orang buta melihat, orang lumpuh berjalan, orang kusta ditahirkan, orang tuli mendengar, orang mati dibangkitkan dan kepada orang miskin diberitakan kabar baik” (*Luk 7:22). Maka bukanlah perkataan yang muluk-muluk, ketika Yesus berseru: “Berbahagialah, hai Kamu yang miskin, karena kamulah yang punya Kerajaan Allah” (*Luk 6:20).
Menimba Inspirasi Dari Sabda:
Orang Kaya dan Lazarus (Lukas 16:19-31) 19. Ada seseorang yang kaya yang selalu berpakaian jubah ungu dan kain halus, dan setiap hari ia bersukaria dalam kemewahan.20. Ada pula seorang pengemis bernama Lazarus, badannya penuh dengan borok, berbaring dekat pintu rumah orang kaya itu,
21 dan ingin menghilangkan laparnya dengan apa yang jatuh dari meja orang kaya itu. Malahan anjing-anjing datang dan menjilat boroknya. 22 Kemudian matilah orang miskin itu, lalu dibawa oleh malaikat-malaikat ke pangkuan Abraham. Orang kaya itu juga mati, lalu dikubur. 23 Sementara ia menderita sengsara di alam maut ia memandang ke atas, dan dari jauh dilihatnya Abraham, dan Lazarus duduk di pangkuannya. 24 Lalu ia berseru, “Bapa Abraham, kasihanilah aku. Suruhlah Lazarus supaya ia mencelupkan ujung jarinya ke dalam air dan menyejukkan lidahku, sebab aku sangat menderita dalam nyala api ini.” 25 Namun, Abraham berkata: “Anakku, ingatlah bahwa engkau telah menerima segala yang baik sewaktu hidupmu, sedangkan Lazarus segala yang buruk. Sekarang di sini ia mendapat hiburan dan engkau sangat menderita. 26 Selain itu, di antara kami dan kamu terbentang jurang yang tak terseberangi, supaya mereka yang mau pergi dari sini kepadamu atau mereka yang mau datang dari situ kepada kami tidak dapat menyeberang.” 27 Kata orang itu: “Kalau demikian, aku minta kepadamu, Bapa, supaya engkau menyuruh dia ke rumah bapakku, 28 sebab masih ada lima orang saudaraku, supaya ia memperingati mereka dengan sungguh-sungguh, agar mereka pun tidak masuk kelak ke dalam tempat penderitaan ini.” 29 Tetapi, kata Abraham: “Mereka memiliki Musa dan para nabi. Hendaklah mereka mendengarkannya.” 30 Jawab orang itu: “Tidak, Bapa Abraham, tetapi jika ada seorang yang datang dari antara orang mati kepada mereka, mereka akan bertobat.” 31 Kata Abraham kepadanya: “Jika mereka tidak mendengarkan Musa dan para nabi, mereka juga tidak akan diyakinkan, sekalipun oleh seorang yang bangkit dari antara orang mati.”
Pertanyaan Renungan/Sharing Apa saja perilaku si kaya saat di bumi maupun di alam maut? Apa permintaan orang kaya dalam ay 24, 27 dan 28? Mengapa ditolak oleh Bapa Abraham? Bertolak dari perilaku si kaya, apa yang seharusnya kita lakukan ketika kita bersama orang miskin yang menderita?
RENUNGAN/PENEGASAN Butir-butir permenungan/penegasan: Dua manusia yang berdekatan, hanya dipisahkan oleh sebuah pintu rumah, tampil sangat berbeda. Orang kaya itu berpakaian halus. Setiap hari ia menampilkan kejayaannya dengan bersukaria dalam kemewahan bersama saudara-saudaranya dan sahabat-sahabatnya. Di mata orang Farisi, orang kaya ini diberkati Allah. Yang di depan pintunya, seorang pengemis yang dibiarkan menderita lapar, dengan badannya ditutupi borok dan dinajiskan oleh jilatan anjing-anjing, di mata orang Farisi jelas seorang yang dikutuk Allah. Namun, harapan orang miskin ini terletak dalam namanya, Lazarus, El`azar, Allah menolong. Betapa lebar pun jurang kesenjangan sosial-ekonomi di antara kedua orang ini, namun bukan tak terseberangi. Si kaya hanya perlu membuka pintunya, menyapa si miskin, dan mencari tahu apa kebutuhannya dan mungkin juga kemampuannya. Tetapi, si kaya mengabaikannya. Si kaya beberapa kali membuka percakapan dengan “Bapa Abraham” (ay. 24, 27,30). Ia tetap tidak mau menyapa Lazarus. Ia berusaha mengklaim statusnya sebagai anak Abraham, tanpa mau berkomunikasi dengan yang lebih jelas menjadi anak Abraham. Lazarus baginya hanya orang suruhan saja. Ia minta Abraham menyuruh Lazarus menyejukkan lidahnya dengan sedikit air. Permintaan orang kaya ini menyingkapkan kelalaiannya untuk berbuat demikian juga ketika Lazarus ingin menghilangkan lapar dan hausnya di depan pintunya. Abraham menegaskan juga bahwa jurang di antara mereka berdua di alam maut sudah tak terseberangi, berbeda dengan ambang pintu yang pernah memisahkan mereka di bumi dan yang mudah diseberangi. Kesempatan yang pernah ada, kini sudah hilang. Perumpamaan ini menyingkapkan sejumlah hal yang seharusnya dilakukan oleh kita dalam hidup bersama. Pertama, perlunya menjangkau orang miskin ketika ia berada dalam jangkauan kita, sebelum terlambat dan terbentang jurang yang tak terseberangi. Kedua, perlunya menyapa orang miskin secara langsung daripada berbicara tentang dia tanpa dia. Ketiga, perlunya berbagi makanan, minuman, pakaian, pengobatan, dan tumpangan ketika menjumpai orang lapar, haus, telanjang, sakit, dan terasing; melayaninya sesuai kebutuhannya seperti kita sendiri harapkan dilayani pada saat mengalami kebutuhan tertentu. Empat, daripada mau menyuruh si miskin bekerja bagi kita setelah kematian, memberi dia kesempatan bekerja bersama kita selama kehidupan, bila mungkin di rumah atau usaha kita sendiri. Kelima dan terpenting, perlunya mendengarkan suara Tuhan melalui para nabi dan rasul dan membuat opsi Tuhan bagi kaum miskin menjadi opsi kita sendiri. Ketika kita ingin mengasihi orang miskin, pemikiran kita mungkin langsung mengarah kepada sedekah seperti yang dibicarakan Yesus dalam Mat 6:2-3, Luk 11:41 dan 12:33; (bdk juga Kis 3:2-3). Pertama, penting diperhatikan bahwa kata sedekah berasal dari kata Ibrani tzedakah yang berarti keadilan. Pemberian sedekah bukan cuma menaruh belas kasihan kepada orang miskin (bdk. Ams 14:21,31) tetapi juga bertindak adil terhadap mereka sebab bantuan itu memang hak orang miskin dalam keadaan darurat. “Orang benar mengetahui hak orang lemah,” tegas Kitab Amsal (29:7). Kedua, gagasan ‘sedekah’ atau ‘menaruh belas kasihan’ insidental bagi orang miskin, tidak banyak disebut dalam Alkitab, karena ada kesadaran bahwa sedekah yang ada kalanya perlu untuk mengatasi penderitaan darurat, tetapi tidak cukup untuk membantu kaum miskin maju (kehidupannya lebih baik). Dalam hidup bersama, kita perlu menjangkau orang miskin di lingkungan dan paroki kita. Apakah di sekitar rumah kita, di dalam lingkungan, dan di Paroki kita tinggal ada saudara-saudara kita yang termasuk keluarga pra-sejahtera/ keluarga miskin dan yang tidak mampu memenuhi kebutuhan tempat tingggal/rumah sehat layak huni, kebutuhan pangan sehat dan kebutuhan untuk mengakses layanan Kesehatan? Dalam permenungan ini kita diajak untuk mengasihi orang miskin dalam aksi nyata yang tidak berhenti pada tindakan insidental tetapi kegiatan yang membantu mereka memiliki kehidupan yang lebih baik. Oleh karena itu, program kegiatan rutin apa yang dapat kita (lingkungan dan Paroki) lakukan agar kehidupan orang miskin disekitar kita lebih baik?